Anggur Import VS Lokal


Tidak kurang dari 8.000 varietas anggur tersebar di seluruh penjuru dunia.

Sedangkan di Indonesia sendiri, tidak kurang 100 varietas anggur menyebar dari Aceh hingga Papua.

Masing-masing varietas memiliki karakteristik buah yang berbeda satu sama lain. Mulai dari bentuk buah, warna, ukuran, cita rasa, kadar gula, ketebalan kulit, jumlah biji, dan seterusnya.

Namun dari seratusan varietas tersebut, kurang dari separuhnya saja yang dikenal dan populer di kalangan penghobi secara umum.

Sebagian lainnya hanya dikoleksi oleh kalangan tertentu yang biasanya adalah; para kolektor tanaman anggur kawakan dan nursery (produsen bibit) anggur.

Selain itu, ada puluhan varietas anggur yang hanya tersedia di kebun anggur milik Balitjestro Indonesia (Balai Penelitian Tanaman Jeruk & Buah Sub Tropika) di Jawa Timur, yang merupakan kelompok Anggur Lokal (varian anggur yang sudah ada di Nusantara sejak zaman penjajahan).

Adapun varietas yang umum dibudidayakan penghobi saat ini adalah kelompok Anggur Import, yakni varian anggur yang belum lama masuk / diimport ke Indonesia oleh para kolektor anggur kawakan.

Setahu saya, varian anggur import baru masuk pertama kali kisaran tahun 2010-an, tapi saya tidak yakin tepatnya, bisa jadi sebelum tahun tersebut.

Intinya, keberadaan anggur import di Indonesia belum sampai 2 dekade (20 tahun).

Anggur Import VS Lokal

Ketika membandingkan antara varietas anggur import dan lokal, biasanya yang terbesit di kepala kita adalah anggur import kualitas buahnya lebih baik daripada anggur lokal.

Mengapa terbesit begitu?

Mungkin karena dilatarbelakangi oleh pikiran kita yang merujuk pada; buah anggur import di supermarket dan buah anggur hitam Bali yang merupakan ikon utama anggur lokal di pasaran Indonesia.

Buah anggur import di supermarket rasanya sangat manis dan ukuran buahnya besar-besar. Sedangkan anggur hitam Bali rasanya cenderung asam dan berukuran kecil.

Jadi, sadar atau tidak, kita mengorelasikan fakta tersebut ketika melakukan perbandingan; anggur import vs lokal secara umum.

Sayangnya, perspektif tersebut kurang tepat. 😞

Perlu dipahami bahwa:

  • Tidak semua anggur lokal itu jelek, ada beberapa varietas yang kualitas buahnya sangat kompetitif untuk komersil.
  • Tidak semua anggur import bagus, ada varian tertentu yang mutu buahnya kelas bawah dan enggak layak komersil.

Jadi, kalau ditanya; mana kelompok yang buahnya berkualitas tinggi, anggur import atau lokal?

Maka jawabannya adalah kedua kelompok tersebut sama-sama memiliki daftar varietas dengan mutu buah unggulan.

Di antara kelompok anggur lokal yang buahnya unggul adalah varietas Red Prince, Maroo Seedless, Cardinal, dan Alphonse Lavallee.

Tahukah Anda, bahwa Alphonse Lavallee itu adalah anggur Bali?

Ya, beneran, itu nama asli dari anggur hitam Bali yang kita kenal selama ini.

Varietas yang berasal dari Perancis ini merupakan persilangan dari varietas Muscat Hamburg dengan Kharistvala Kolkhuri. Adapun nama Alphonse Lavallee diambil dari nama orang yang memuliakan / menemukan varietas tersebut.

Dan berdasarkan sumber yang saya baca, varietas ini memiliki kualitas buah yang sangat kompetitif di ranah internasional. 😲

Hanya saja, popularitasnya menurun tajam bahkan bisa kita sebut “terlupakan” di panggung dunia, semenjak ia gagal memenangkan pertunjukan varietas anggur di Portugal pada tahun 2003 silam.

“Unggul dari mana, kan rasa buahnya asem?” Mungkin Anda menyangkal begitu. 😏

Ternyata karakter asli buah anggur Alphonse Lavallee tidak asem, lho.

Tapi sangat manis. 😋

Bahkan di luar negeri, varietas ini lebih dikenal sebagai anggur meja dibandingkan anggur wine.

Sementara kita tahu, salah satu syarat suatu varietas bisa dimasukkan ke dalam kategori anggur meja adalah memiliki rasa buah yang manis.

Nah, adapun kasus buah anggur Bali cenderung asem di Indonesia, kemungkinan besar disebabkan oleh teknis pemeliharaan pohon yang kurang tepat.

Waduh, kok jadi kepanjangan ngebahas anggur Bali-nya, ya. 😅

Okelah, kita kembali ke topik awal; anggur import vs lokal.

Ketika Anda bertanya; manakah di antara kedua kelompok tersebut yang ideal untuk Anda tanam “sebagai penghobi anggur pemula”?

Maka jawaban paling ideal menurut saya adalah memilih berdasarkan fase juvenile yang sesingkat mungkin.

Apa itu fase juvenile?

Berikut penjelasannya.

Mengenal Fase Juvenile

Fase juvenile atau disebut juga fase vegetatif adalah periode waktu di mana tanaman anggur fokus membangun struktur lengkap organ tubuhnya seperti; akar, batang, cabang, daun, sulur, dan seterusnya, sebelum pohon siap berbuah pertama kali.

Biasanya, fase ini berlangsung selama 1-3 tahun pertama pasca tanam.

Namun pada varietas tertentu, fase ini bisa dipersingkat menjadi beberapa bulan saja.

Berdasarkan pengalaman, ada varietas tertentu yang fase juvenilenya bisa dipersingkat menjadi 6-10 bulan, bahkan 4-6 bulan setelah tanam.

Sementara, ada juga varietas yang tidak bisa dipersingkat, sehingga harus menunggu 1-3 tahun untuk bisa berbuah pertama kali.

Kebanyakan anggur lokal memiliki fase juvenile di atas 1 tahun, bahkan sampai 3 tahun.

Hanya sebagian kecil yang fase juvenilenya bisa dipersingkat kurang dari setahun, itu pun varietas-varietas yang kualitas buahnya kurang bagus.

Varietas unggul seperti Maroo Seedless, Red Prince, Cardinal, dan seterusnya, mereka perlu waktu 2-3 tahun untuk mulai berbuah.

Sedangkan pada kelompok anggur import, terdapat banyak varietas yang fase juvenilenya bisa dipersingkat kurang dari setahun, bahkan kurang dari 6 bulan setelah tanam.

Maka dari itu, jawaban untuk pertanyaan di awal tadi – kelompok mana yang ideal untuk pemula? -, maka jawabannya adalah anggur import.

Dan anggur import yang saya maksud adalah; terkhusus pada varietas-varietas yang memiliki fase juvenile pendek atau bisa dipersingkat kurang dari setahun.

Lebih ideal lagi, pilih yang dapat dipersingkat kurang dari 6 bulan, supaya Anda bisa mencicipi panen perdana secepat mungkin.

Enggak perlu nunggu setahun. 😉